(Sebuah Penelitian) Pemikiran Tasawuf Haji Gusti Abdul Muis

PEMIKIRAN TASAWUF H. GUSTI ABDUL MUIS

Rabiatul Aslamiah

Abstrak
Sebagai salah seorang ulama di Kalimantan Selatan, H. Gusti
Abdul Muis mendekati tasawuf dari segi praktis fungsionalnya sebagai
suatu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SW. dengan mengisi
sisi-sisi peribadatan yang hanya dipenuhi oleh gerak lahiriyah semata
dengan nilai-nilah ruhaniyah, memperbaiki akhlak yang dilandasi oleh
Tauhid yang murni serta berusaha mengembalikan tasawuf kepada
pangkalnya yaitu Al Qur’an dan sunnah. Selain dari itu Tasawuf ini juga
bertujuan untuk meningkatkan amal ibadah kepada Allah secara kuantitas
dan kualitas dengan tetap berpedoman kepada Al Qur’an dan Sunnah.
Jadi tasawuf ini dapat dikategorekan sebagai Tasawuf Sunni, dan tidak
keluar dari batas-batas yang digariskan dalam Tasawuf Sunni.
Kata Kunci: Tasawuf, Sunni, Amali, Akhlaki.

A.Pendahuluan
Sumber ajaran Islam yang terdiri dari al -Qur’an dan Hadis jika
diteliti secara mendalam, maka di dalamnya ditemukan beberapa bentuk
norma syara’ yang secara global dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu;
pertama yang berkaitan dengan akidah, kedua yang berkaitan dengan ibadah
dan muamalah, dan ketiga yang berkaitan dengan akhlak.
Mengenai bidang ketiga (akhlak), terdapat ajaran-ajaran yang
mendorong manusia agar memperhatikan keluhuran budi; seperti sabar,
syukur, tawakal kepada Allah, ikhlas dalam ibadah dan amal, ri«a terhadap
ketentuan Allah, berhati-hati dalam kehidupan dunia, pemurah, pemaaf,
selalu zikir mengingat Allah dan beribadah kepada Allah dengan segala
potensi yang dimiliki. yaitu potensi lahir dan batin. sehingga merasa seolaholah
melihat Allah atau minimal merasa dilihat oleh Allah (ihsan). Ajaran
yang terakhir ini pada masa berikutnya disebut pula dengan Tasawuf.
Tasawuf dalam kedudukannya sebagai pemikiran dan
kedudukannya sebagai keadaan telah ada sejak adanya manusia (Abdul
Halim Mahmud, t.th: 285). Sedangkan ajaran dan pemikiran tasawuf Islam
pada awalnya hanyalah merupakan reaksi dan antisipasi terhadap kebijakan
pemerintahan Bani Umayyah yang dianggap kurang relegius (Nurkhalis
2
Majid, 1992: 256). Tokoh pertama yang mempopulerkan ajaran ini adalah
Hasan al-Bashri, kemudian dilanjutkan oleh pengikutnya-pengikutnya yang
disebut dengan kaum sufi. Namun dalam perkembangan lebih lanjut tasawuf
berkembang menjadi gerakan pemikiran yang berorientasi pada pematangan
dan kesalehan pribadi. Pemikiran tasawuf seperti halnya pemikiran ilmuilmu
keislaman lainnya, bergerak dan berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat dimana pemikiran itu muncul, serta adanya
kontak pemikiran dengan unsur-unsur lainnya.
Di Kalimantan selatan, salah seorang tokoh pemikir muslim yang
aktif adalah H.Gusti Abdul Muis.Dia adalah putera H. Gusti Abd Syukur
yang berasal dari keturunan Pangeran Antasari. H.Gusti Abdul Muis
dilahirkan pada 19 April 1919 di Samarinda Kalimantan Timur, dan wafat
pada tanggal 27 September 1992 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan dalam
usia 73 tahun. Semasa Hidupnya dia berusaha mendakwahkan ajaran Islam
kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya yang berada di wilayah
Banjarmasin dan sekitarnya. Diantara materi yang biasa disampaikannya
adalah Tauhid, Tafsir dan tasawuf.
Diantara Pemikiran H. Gusti Abdul Muis yang cukup menarik dan
agak berbeda dengan pemikiran tasawuf pada masa sebelumnya adalah
penggunaan akal di samping hati yang menjadi dasar utama ajaran tasawuf.
Selain itu, dia berusaha menandaskan perlunya usaha manusia untuk
mendapatkan kebahagiaan disamping tawakkal kepada Allah SWT. Serta
mendasari pemikiran tasawufnya dengan Al Qur’an dan Sunnah.
B. Metode Penelitian
Studi ini merupakan penelitian pustaka yang bersifat deskriptif
analitis. Data tentang pemikiran Haji Gusti Abdul Muis akan ditelusuri
secara khusus dalam karya-karyanya yang sudah dibukukan, khususnya
karya yang berkenaan dengan tasawuf, sedangkan karyanya yang
berhubungan dengan masalah lain, akan dijadikan sumber tambahan yang
mendukung bagi tercapainya sebuah penelitian.
Dalam menganalisis, data yang telah terkumpul, akan dianalisis
secara deduktif dan induktif. Metode yang digunakan untuk menganalisis
adalah analisis isi (content analysis), yaitu analisis terhadap isi pemikiran
tasawuf Haji Gusti Abdul Muis, sebagaimana yang terdapat di dalam bukubuku
hasil karyanya yang berkenaan dengan tasawuf, khususnya yang
berkenaan dengan masalah yang diteliti.

C.Laporan Hasil Penelitian
1.Beberapa Pemikiran Tasawuf H. Gusti Abdul Muis
a. Tasawuf
Tasawuf berasal dari Bahasa Arab, yang tidak disepakati asal usul
katanya. Ada yang mengatakan bahwa kata itu berasal dari kata-kata:
“saff”, yang berarti barisan. Asal kata ini dinisbahkan pada saff (barisan)
pertama pada salat berjamaah yang mendapat kemuliaan dan pahala,
demikian kaum sufi mereka dinamakan para sufi karena mereka berada pada
baris pertama (saff) pertama didepan Tuhan. Ada pula yang mengatakan
bahwa kata itu dinisbahkan kepada “saufanah” (buah-buahan kecil berbulubulu
yang tumbuh di padang pasir Arabia), dinisbahkan demikian karena
pakaian kaum sufi berbulu-bulu seperti itu. Ada pula yang mengaitkannya
dengan “suffah”, yaitu kamar disamping Masjid Nabawi di Madinah,
kamar ini dihuni oleh kelompok Muhajirin yang disebut ahlu suffah, mereka
dikenal sebagai ahli ibadah dan menyiapkan diri mereka hanya untuk Allah,
akhlak mereka sangat mulia, mereka inilah yang diteladani oleh kaum sufi.
Selain itu, kata tasawuf juga dikatakan berasal dari “suf” yaitu kain yang
terbuat dari bulu domba yang kasar, juga dikatakan dari “safa” yang artinya
bersih atau suci, “safwah”, yang artinya pilihan atau terbaik (Yunasril Ali,
1980: 21).
Dari beberapa pendapat yang menjelaskan tentang asal-usul kata
tasawuf itu, jika ditinjau dari segi bahasa, pendapat yang paling tepat
menurut sebagian ulama adalah bahwa kata tasawuf bernisbah kepada kata
suf yang artinya bulu domba. Penamaan itu dikiaskan kepada kata
tagammasa bagi orang yang memakai gamis, jadi tasawwafa adalah orang
yang memakai suf (pakaian yang terbuat dari bulu domba). Pendapat ini
dikemukakan oleh Zaki Mubarak, al Syeikh al Akbar Musthafa Abdurraziq
dan seorang orientalis yang bernama Margolioth (Abdul Halim Mahmud,
t.th: 164-165). Meskipun demikian ada juga segolongan ulama yang tidak
setuju dengan penisbahan tersebut, mereka beralasan bahwa pemakaian kain
¡uf itu bukan dari sunnah Nabi Muhammad saw. tetapi dari para pendetapendeta
Na¡rani yang ditiru dari Isa Al Masih Putera Maryam (Hamzah
Ya’qub, 1980: 20).
Meskipun asal usal kata yang paling tepat dari kata tasawuf adalah
suf yang berarti bulu domba, dengan alasan bahwa mereka yang
bertasawwuf adalah mereka yang memakai kain suf, tetapi bukan berarti
bahwa orang yang ingin mengamalkan ajaran tasawuf harus memakai kain
suf. Karena memakai pakaian seperti itu bukan merupakan syarat, tetapi
hanya merupakan pilihan pribadi berdasarkan pertimbangan bahwa pakaian
itu kuat, murah, kasar, tidak perlu diganti pada musim dingin, tidak
membutuhkan perawatan yang sulit, karena tidak mudah robek maupun
butut (Hamzah Ya’qub, 1980: 166).
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa orang yang bertawuf bukan
hanya mereka yang memakai kain suf, begitu pula orang yang yang
memakai kain suf, belum tentu orang yang mengamalkan ajaran tasawuf,
karena mungkin saja ada orang yang berkedok sufi dengan memakai kain
suf padahal hatinya rusak, hal seperti itulah yang dicela oleh Al Junaid al
Bagdadi, dan dikatakan sebagai bid’ah oleh Sufyan Tsauri dan pengarangpengarang
Ikhwan al Shafa (Hamzah Ya’qub, 1980: 21), karena memang
sesungguhnya kaum sufi tidak mencirikan dirinya dengan memakai pakaian
dari bulu (Al-Qusyairi, t.th: 279). Berkaitan dengan asal usul kata tasawuf
ini, penulis lebih cenderung pada pendapat Haidar Baqir, yang berpendapat
bahwa kata safa yang berarti suci adalah yang paling luas diterima. Tasawuf
jika dianggap berasal dari kata safa menjadi bermakna proses penyucian,
yaitu proses penyucian hati (Haidar Baqir, 2001: vi). Karena memang inti
dari ajaran tasawuf itu adalah penyucian hati dari sifat-sifat yang tercela.
Menurut H.Gusti Abdul Muis, tasawuf hanyalah suatu cara untuk
mendekatkan diri kepada Allah, sebagaimana terdapat dalam bukunya
sebagai berikut:
Tasawuf hanyalah sekedar suatu cara (kaifiyat) boleh juga
dikatakan sebagai suatu sistem untuk memudahkan pengertian dan latihan
diri (riadatun nafsi) untuk sampai pada tujuan bertaqarrub (mendekatkan
diri) kepada Allah SWT. Tasawuf hanya sekedar pengisian yang kosong
yang kebanyakan orang hubunyanya dengan Tuhannya Hanya dalam gerak
lahiri atau bentuk formalitas belaka, kosong dari gerak jiwa atau gerak hari
nurani (Gusti Abdul Muis, t.th: 12).
b. Safar
Safar (bepergian) merupakan sarana untuk melepaskan diri sesuatu
yang hendak dihindari atau mencapai sesuatu yang diinginkan. Safar ini ada
dua macam: Safar dengan §ahir dan safar perjalanan hati (Ibnu Qadamah,
t.th: 143). Al Qusyairi juga membagi safar kepada dua macam yaitu: Pergi

secara fisik, yaitu berpindah dari satu tempat ketempat lain, dan bepergian
secara ruhani, yaitu mendaki dari satu tangga sifat ke sifat yang lain
(Qusyairi, t.th: 289). Safar (perjalanan) menurut Al Gazali, sebagaimana
dikutif oleh Haji Gusti Abdul Muis, adalah perjalanan lahir dimuka bumi,
melalui segala liku-liku lorongnya dan juga perjalanan batin menuju ke
akhirat.
Dari penjelasan yang disampaikannya, begitu juga yang dikutipnya
dari al Gazali dapat diketahui bahwa safar yang dimaksud oleh Haji Gusti
Abdul Muis dalam karyanya ini adalah yang meliputi kedua jenis safar,
yaitu perjalanan lahir manusia dalam menapaki kehidupan di dunia dan
perjalanan batin menuju Allah SWT. Disini nampak terlihat bahwa Haji
Gusti Abdul Muis berusaha memadukan antara dua macam safar itu yaitu
safar dunia dan akhira, safar lahir dan safar batin dalam artian bahwa
manusia pada hakikatnya sedang dalam safar (perjalanan) menuju Allah,
namun dalam waktu yang sama dia sedang safar (bepergian) di dunia dalam
menjalani kehidupannya. Kedua jenis safar itu harus berjalan seiring. Safar
lahir diarahkan untuk memudahkan dalam safar batin, dan safar batin
menjiwai safar lahir. Perjalanan (safar) di dunia tidak melalaikan (safar)
menuju Allah dan safar menuju Allah tidak mengabaikan safar di dunia.
C. Tawajjuh
Menurut Haji Gusti Abdul Muis, seorang hamba menghadap
sepenuhnya lahir dan batin kepada wajah Allah yang qadim, Maha Kuasa,
Yang menciptakan hambanya, disebut dengan bertawajjuh. Tawajjuh dapat
menjadikan hamba mencapai puncak kehadiran hati dan ikhlas. Kalau tidak
demikian, terjadilah kedustaan. Orang yang dusta adalah orang yang
lidahnya menuturkan bahwa ia menghadap Allah, tetapi sama sekali ia tidak
merasakan bahwa ia sedang dihadapan Yang Maha Tahu tentang dirinya
dan tiada satu pun yang tersembunyi akan keadaannya lahir dan batin, lalu
dibiarkannya hatinya menerawang kemana-mana, sedang lidahnya mengaku
ia menghadap Tuhannya (Gusti Abdul Muis, t.th: 24).
Penjelasan tentang tawajjuh menurut haji Gusti Abdul Muis, akan
lebih tampak pada tulisan berikut:
“Jadi tawajjuh ialah menghadapkan diri sepenuhnya kepada
Allah, dimulai dengan iradah (kehendak) sampai kepada niat yang
kokoh dan bulat lalu harapan yang setinggi- tingginya yang hanya
semata-mata karena Allah dan kepada Allah dengan menghayati

sedalam-dalamnya akan kebesaran, kekuasaan, kemuliaan dan
kemurahanNya. Betapa fakirnya seorang hamba dihadiratNya dan
hanya kepadaNya berlindung dan bermohon” (Gusti Abdul Muis,
t.th: 27).
Tawajjuh sebagaimana yang dikemukakan oleh Haji Gusti Abdul Muis
ini
nampaknya sangat kental dengan muatan tauhid yang murni, dan lebih tepat
bila disejajarkan dengan khusyu dan ikhlas dalam amal ibadah. Selain dari
hal di atas, tawajjuh yang dikemukakan oleh Haji Gusti Abdul Muis, hanya
ditujukan kepada Allah SWT. tidak ditujukan kepada guru maupun roh..
Maksud tawajjuh Haji Gusti Abdul Muis nampak semakin jelas ketika dia
mengemukakan:
“Orang yang selalu melatih diri bertawajjuh kepada Allah, maka
imannya kian bertambah tangguh, salatnya akan mencapai natijah, yaitu
dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.”(Gusti Abdul Muis, t.th:
25).
d. Hati
Haji Gusti Abdul Muis, sangat memperhatikan peran dan fungsi
hati. Dia mengatakan bahwa hati adalah benteng pertahanan. Karenanya dia
berpendapat bahwa menjaga hati dari serbuan musuh dan serangan syaitan
itu far«u ‘ain bagi tiap-tiap mukallaf. Oleh karena itu mengetahui jalan
masuknya syaitan itupun wajib pula (Gusti Abdul Muis, t.th: 28). Haji
Gusti Abdul Muis lebih tegas lagi menekankan bahwa menjaga hati dari
serangan musuh (syai¯an) hukumnya far«u ain, begitu pula dia mengatakan
bahwa mengetahui jalan masuknya syai¯an kedalam hati juga far«u ‘ain.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang tidak menjaga hatinya
dalam arti tidak mempelajari hal-hal yang dapat merusak hatinya, sehingga
dia membiarkan hatinya dimasuki oleh penyakit-penyakit yang dapat
merusak, dan tidak berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengobati
hatinya yang sakit, berarti dia telah melalaikan kewajiban dan dapat
membawanya kepada dosa.
Mengenai jalan dan pintu masuknya syai¯an, Haji Gusti Abdul
Muis mengatakan bahwa jalan masuknya syai¯an itu banyak, tetapi jalan
dan pintu yang paling lebar dan paling leluasa bagi masuknya syai¯an

adalah sifat amarah dan syahwat. Amarah menurutnya adalah hasil
kekacauan pikiran dan keguncangan akal (Gusti Abdul Muis, t.th: 29).
Dengki (hasad) dan tamak juga merupakan pintu masuknya
syaitan, hal yang dapat merusak hati, karena menurtnya, bila di dalam hati
bersemayam sifat dengki, sifat loba dan tamak, maka tertutuplah daya
penglihatan. Karena orang yang loba dan tamak, melihat keberhasilannya
hanya dari sudut syahwatnya belaka, apa saja yang menguntungkan
syahwatnya, itulah yang dianggap baik, meskipun perbuatannya itu munkar
atau perbuatan yang sangat tercela.
Tamak dan loba membuat orang kikir dan takut miskin, lalu
menahan hartanya dari yang berhak seperti zakat sedekah dan nafkah,
kemudian menyimpan harta itu, terbenamlan ia dalam sikap hidup yang
diancam Allah dengan azabnya yang amat pedih sekali” (Gusti Abdul Muis,
t.th: 32).
Pintu besar berikutnya, yang menjadi tempat masuknya syai¯an
menurut Haji Gusti Abdul Muis adalah ta’assub (fanatik buta) kepada
seseorang, suatu golongan atau mazhab. Ia selalu benci kepada siapapun
yang berbeda dengannya, bahkan dianggapnya lawan iamemandang orang
lain dengan pandangan menghina dan meremehkan. Kerjanya yang rutin
hanya mencela dan mengorek-ngorek kekurangan orang lain. Dengan
berbuat begitu dia menyangka bahwa dia telah mengamalkan ajaran
agamanya, padahal ia semata-mata hanya mengikuti bimbingan syai¯an
(Gusti Abdul Muis, t.th: 33).
Panatik buta (ta’assub) dikatakan oleh Haji Gusti Abdul Muis,
sebagai hal yang dapat merusak hati, bukan hanya menimpa orang awam,
tetapi juga kadang-kadang menimpa orang yang suka ibadah, karena dengan
membanggakan ibadahnya dia menghina orang lain. Dengan sikap seperti
itu orang akan terbelenggu oleh pikiran yang sempit dan picik, hanya
melihat kebenaran dari diri dan kelompoknya saja, tidak dapat menerima
kebenaran dari orang lain, dan bahkan benci kepada orang lain, sehingga
menduga dan bahkan menuduh apa yang dilakukan oleh orang lain selalu
salah dan tidak dapat diakui dan diikuti.
Pintu masuk syai¯an berikutnya yang dapat merusakkan hati
adalah sangka buruk. Menurut Haji Gusti Abdul Muis, sangka buruk
adalah tanda dari kekotoran jiwa yang mendarah daging, lalu memandang
orang lain sekotor dirinya (Gusti Abdul Muis, t.th: 35).
Penyakit-penyakit hati itu menurut Haji Gusti Abdul Muis dapat
diobati, tetapi orang biasanya segan mengobatinya, karena obatnya pahit
sekali, ialah melawan dan menahan syahwat. Lagi pula penyakit hati itu
pada umumnya tidak diketahui dan tidak dirasa oleh orang yang
dijangkitinya, sehingga dia lengah dan lalai menghadapinya. Haji Gusti
Abdul Muis memberikan dua cara untuk mengobati penyakit hati tersebut
yaitu menyadari bahwa hatinya sedang sakit dan senantiasa zikrullah.
Penyakit hati berikutnya adalah ria dan ‘ujub, untuk mengobati
penyakit ini, Haji Gusti Abdul Muis mengemukakan dua hal yang
disebutnya dengan dua tingkatan, yaitu:Pertama, Melepaskan diri dari sifat
loba pada apa yang ada ditangan manusia dan kedua, melakukan penolakan
terhadap datangnya ria pada saat beribadah.
.Sedangkan cara penolakan terhadap ria menurut Haji Gusti Abdul
Muis adalah dengan menancapkan tiga pertahanan, yaitu: Pertama,
ma’rifah, yaitu mengetahui bahwa hal itu ria. Kedua, kirahah, yaitu benci
terhadap ria. Dan ketiga I’ba yakni menolak untuk menerimanya
(Gusti Abdul Muis, t.th: 82).
Penyakit ria ini tidak hanya menyerang orang biasa (awam), tetapi
lebih banyak lagi menyerang orang ahli ilmu dan ahli ibadah. Karena nya
semua mukmin hendaknya berhati-hati dan berusaha menjauhi dan
menolaknya. Penolakan terhadap ria itu menurut haji Gusti Abdul Muis
harus melibatkan tiga unsur pertahanan sebagaimana disebutkan terdahulu
yaitu Ma’rifah, kirahah dan I’ba secara bersama-sama, dan tidak boleh
terpisahkan antara satu dengan yang lain, karena apabila ketiganya tidak
menyatu, keberhasilan dalam pemberantasan terhadap penyakit ria tersebut
sulit terlaksana, sebagaimana dikatakannya:
“Maka teranglah ketiga unsur pertahanan diri harus berjalin
menjadi satu, tidak terpisah-pisah satu dengan lainnya. Kekuatan itu terletak
pada perpaduan antara ma’rifah (tahu itu ria yang dimurkai Allah), kirahah
( rasa benci yang bersangatan kepada ria itu) dan I’ba (menolak sekeraskerasnya
akan kehadiran ria itu). Sebab I’ba (penolakan) adalah buahnya
kirahah (benci) dan kirahah adalah buahnya ma’rifah (tahu itu ria) (Gusti
Abdul Muis, t.th: 84).
e. Nur.

Kalimat Nur dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan kata cahaya
dalam bahasa Indonesia. Namum dalam kajian tasawuf biasanya kata itu
tidak diterjemahkan dengan kata cahaya, tetapi tetap menggunakan kata
“nur”. Adanya istilah ini pada awalnya mengacu pada ayat Al-Qur an
surah An Nur ayat ke 34 yang berbunyi:
اللَّهُ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالَْأرْ ِ ض
“Allah adalah nur ( pemberi cahaya) pada langit dan bumi”.
Kemudian berkembang menjadi suatu teori yang disebut dengan
“NurMuhammad” yang dinamakan roh terbesar yang katanya ialah yang
mula-mula dijadikan Allah sebelum menjadikan sesuatu yang lain (Abu
Bakar Aceh, 1996: 179).
Haji Gusti Abdul Muis dalam menjelaskan tentang nur tersebut
berpedoman kepada pendapat ahli-ahli tafsir yang menafsirkan ayat-ayat
tentang nur itu. Menurutnya bahwa Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam
tafsirnya bahwa “nur” pada ayat itu maknanya adalah “Al Hadi” (yang
memberi petunjuk). Imam Mujahid menjelaskan bahwa ayat tersebut diatas
maksudnya adalah bahwa Allah mengatur terbitnya, matahari dan bulan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa Firman Allah” Nur Ku” berarti petunjukKu
(Gusti Abdul Muis, t.th: 46).
Adapun istilah Nur yang dikenal dikalangan kaum muslimin itu
berupa Nur Iman, Nur Islam, Nur Ilmu, Nur Ma’rifah, Nur Yakin dan
sebagainya, yang kesemuanya menurut Haji Gusti Abdul Muis tidak keluar
dari makna aslinya yakni hidayah (Gusti Abdul Muis, t.th: 51). Sedangkan
istilah” Nur Muhammad” sebagaimana yang sering dikatakan oleh orang–
orang sufi, menurut Haji Gusti Abdul Muis, tidak ada dasarnya.
f. Al-Khauf Wa Al-Roja’.
Khauf artinya takut lawannya adalah aman (Louis Ma’luf, 1987:
199). Orang yang takut terhadap sesuatu berarti ia tidak merasa aman
terhadapnya, dan orang yang merasa aman terhadap sesuatu berarti merasa
tidak takut terhadapnya. Khauf adalah masalah yang berkaitan dengan
kejadian yang akan datang, sebab orang hanya merasa takut apabila apa
yang dibenci tiba dan apabila yang dicintai sirna. Dan realita yang demikian
hanya terjadi dimasa yang akan datang (Qusyairi, t.th: 125).
Haji Gusti Abdul Muis mengumpamakan khauf (takut) adalah
ibarat kesedihan hati yang seakan-akan terbakar. Takut akan murka Allah,
takut akan hukuman azab dari Tuhan, karena merasa diri demikian bersalah

dan merasa tidak memadainya amal kebajikan yang telah diamalkan (Gusti
Abdul Muis, t.th: 17). Perasaan takut seperti itu muncul apabila hamba
menyadari banyaknya kesalahan dan perbuatan dosa yang telah
dilakukannya dan ia merasa tidak mampu memikul azab yang akan
menimpanya sebagai balasan dari perbuatannya itu. Perasaan takut itu akan
datang pula pada saat hamba merasa sangat sedikitnya amal kebaikan yang
telah dilakukannya, dan ia merasa bahwa amal itu tidak mencukupi untuk
bekalnya. Haji Gusti Abdul Muis juga mengaitkan khauf dan roja’dengan
masa depan. Tetapi dalam menunggu sesuatu yang menyenangkan untuk
masa yang akan datang Haji Gusti Abdul Muis, menghubungkannya dengan
hukum sebab akibat (sunnatullah). Seseorang yang mengharap datangnya
sesuatu yang menyenangkan harus berusaha mempersiapkan sebab
datangnya kesenangan itu dengan adanya usaha nyata, bukan hanya harapan
tanpa usaha. Pemikiran seperti itu dapat dilihat dalam bukunya.
“Apabila timbul goresan-goresan hati tentang masa yang akan
datang yang tidak kita sukai dan mengerikan, timbullah rasa takut
(takut). Dan apabila timbul goresan-goresan hati yang menyenangkan,
lalu kita menunggu yang disenangi timbullah harap (roja’). Tetapi
harap itu harus sesuai dengan sebab yang menjadi sunnatullah. Harap
yang tidak sesuai dengan sebab adalah angan-angan kosong. Seperti
orang yang berharap panen tetapi tidak bersawah dan tidak berladang”
(Gusti Abdul Muis, t.th: 13).
Haji Gusti Abdul Muis mengingatkan bahwa, semata-mata
mengurus dunia dapat menghilangkan rasa takut terhadap azab Allah
sehingga orang merasa bebas berbuat apa saja untuk mengejar keduniaan,
tanpa memperdulikan aturan Allah.
Mengenai takut, Haji Gusti Abdul Muis selanjutnya menjelaskan:
“Sedangkan takut kepada Allah adalah takut yang lebih tinggi,
takut menjadi jauh dari padaNya, takut menjadi terdinding
daripadaNya dan sangat berharap akan kedekatan dengan Dia. Inilah
takutnya orang- orang yang berilmu. Inilah takut atas dasar ma’rifah,
bukan takut karena ikut-ikutan. Tetapi takut dengan ba¡irah (mata
hati)” (Gusti Abdul Muis, t.th: 22).
g. Tawakkal.
Kata Tawakkal berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata wakkala
yang berarti mempercayakan, menyerahkan, menjadikan wakil, atau
menunjuk sebagai wakil (Ahmad Warson, 1984: 1687).
Haji Gusti Abdul Muis berpendapat bahwa Tawakkal adalah
tauhid. Oleh karena itu tidak ada tawakkal kecuali disertai dengan kuatnya
iman dan kuatnya yakin. Disini terlihat bahwa dia menyandarkan tawakkal
kepada kepada kuatnya keimanan dan keyakinan seseorang kepada Allah
yang menciptakan dan menguasai alam semesta dengan segala isinya. Jika
imannya kepada Allah betul dan kuat, maka tawakkalnya kepada Allah juga
betul.
Dalam masalah rezeki, Haji Gusti Abdul Muis mengatakan
bahwa:Allah swt. menjamin rezeki untuk hambaNya sampai pada batas
yang telah ditetapkanNya. Tetapi harus dimaklumi bahwa Allah tidak
pernah menjamin rezeki yang lezat-lezat saja. Rahasia langit tidak dapat
dilihat, karena itu tidak ada jalan lain kecuali bertawakal kepada yang
mejanjikan. Selanjutnya dia mengatakan:
“Maka tidak menjadi berkurang tawakkalnya orang yang mengunci
rumahnya ketika ia tidur atau memagari kebunnya, karena hal itu adalah
termasuk sebab menurut sunnatullah.Itulah orang yang bertawakkal dengan
ilmu dan keadaan”. Menurut ilmunya kalau pencuri tidak dapat masuk untuk
mencuri bukanlah semata-mata karena kunci, tetapi penolakan Allah jua.
Bukanlah karena bersenjata maka ia menjadi selamat, karena banyak orang
yang memegang senjata tidak selamat. Janganlah berpegang kepada sebab
tetapi berpeganglah kepada yang menyebabkan (Gusti Abdul Muis, t.th: 26).
Kesempurnaan tawakkal menurut Haji gusti Abdul Muis, adalah
qana’ah yakni merasa cukup dengan apa adanya pemberian Allah sesudah
menghabiskan usaha ihktiar yang dikaruniakan Allah SWT. dan kebenaran
Tawakkal, hanya dapat dicapai oleh hamba Allah yang ikhlas.
h. Taubat dan Istigfar
Yang dimaksud dengan taubat dari segi bahasa adalah kembali
(ruju’), yaitu kembali dari kemaksiatan kepada Nya, taubat juga berarti
menyesal (Louis Ma’luf, 1986: 66). Kalimat taubat apabila disandarkan
kepada hamba, maka maksudnya adalah kembalinya dari tergelincir kepada
menyesalinya, dan apabila disandarkan kepada perbuatan Allah, maka
maksudnya adalah kembalinya ni’mat Allah kepada hambaNya (al Juwaini,
t.th: 401).
Menurut Haji Gusti Abdul Muis, pengertian taubat itu tersusun
dari tiga hal yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan lainnya yaitu:
1. Ilmu, ialah mengetahui dengan sesungguhnya akan besarnya bencana
dan malapetaka sebagai akibat dosa itu. Dosa itulah yang menjadi
pendinding antara hamba dengan Tuhannya Yang Maha Pengasih.
Apabila ma’rifah ini kuat dan menjadi yakin terhunjam di dalam hati,
maka bergeloralah di dalam hati rasa kesedihan karena terdindingnya
dia dari Yang Mengasihi. Sedih itu bertambah-tambah bila mengingat
perbuatan-perbuatannya yang menjadi malapetaka itu. Kesedihan
yang demikian itulah yang dinamakan menyesal.
2. Hal Keadaan, yaitu timbulnya dalam hati sesuatu keadaan yang
berhubungan dengan perbuatan perbuatan yang telah lalu dan hal-hal
yang berhubungan dengan keadaan sekarang. Dan keadaan yang
berhubungan dengan waktu yang akan datang.
3. Amal, yakni usaha memperbaiki keadaan yang telah lalu dengan jalan
beramal karena Allah. Yang rusak diperbaiki, yang hilang diganti
seperti mengqa«a yang wajib dan minta maaf dan rela apabila yang
bersangkutan dengan hak-hak anak Adam. Yang berhubungan dengan
keadaan sekarang adalah meninggalkan semua perbuatan dosa yang
disesali itu dan menggantikannya dengan amal-amal kebajikan. Yang
berhubungan dengan waktu yang akan datang ialah ia berjanji dan
bertekad tidak mengulangi lagi perbuatan-perbuatan dosa itu (Gusti
Abdul Muis, t.th: 61-62).
.
Istigfar adalah salah satu dari taubat. Yaitu bahwa orang yang
bertaubat meminta ampun kepada Allah dengan mengucapkan kalimatkalimat
atau doa-doa yang berisi permohonan ampun kepada Allah dengan
harapan agar Allah berkenan mengampuni dosa-dosa dan kesalahannya.
i. Siddiq dan Ikhlas
siddiq adalah adalah bentuk mubalagah (penekanan) dari sadiq,
yang artinya orang yang didominasi oleh kejujuran. Derajat terendah
kejujuran adalah bila batin seseorang selaras dengan perbuatan lahirnya.
sadiq adalah orang yang benar dalam kata-katanya, siddiqy adalah orang

yang benar-benar jujur dalam semua kata-kata, perbuatan dan keadaan
batinnya (Qusyairi, t.th: 211).
Menurut Haji Gusti Abdul Muis, siddiq adalah keberhasilan
meninggalkan sesuatu yang tidak ada apa-apanya (Gusti Abdul Muis, t.th:
19).

Selanjutnya dia mengemukakan pendapat Al Muhasibi bahwa orang
yang siddiq ialah orang yang tidak ambil peduli akan segala cela yang
timbul dari hati manusia, dan tidak pula senang sebesar zarrah pun bila
kebaikannya disebar luaskan orang kepada orang banyak, tidak marah dan
tidak benci bila keburukannya diungkapkan orang kepada orang lain (Gusti
Abdul Muis, t.th: 67). Ikhlas dan siddiq merupaka hal yang sangat penting
diperhatikan untuk kesempurnaan amal dan diterimanya ibadah.
Berkaitan dengan hubungn siddiq dan ikhlas, Haji Gusti Abdul
Muis mengatakan: “Ikhlas dan siddiq adalah dua keadaan yang selalu
berdekatan. Ikhlas itu pada permulaan amal dan pada akhir amal, sedangkan
siddiq adalah pada saat tengah melaksanakan amal dan sesudah beramal”.
Dia juga mengemukan jawaban Junaid ketika orang bertanya apakah siddiq
dan ikhlas satu atau dua yang berbeda. Junaid berkata: siddiq adalah pokok
dan ikhlas adalah cabang. Ikhlas baru ada sesudah memasuk berbuat amal
(Gusti Abdul Muis, t.th: 67).
j. Ma’rifah dan Syahadah
Ma’rifah adalah mengetahui sesuatu dengan sedalam-dalamnya
sebagaimana adanya (Al-Harawy, 1988: 125). Al Qusyairy mengatakan:
para ulama mengartikan ma’rifah adalah ilmu. Semua ilmu disebut
Ma’rifah, dan semua ma’rifat adalah ilmu, dan setiap orang yang
mempunyai ilmu (‘alim) tentang Allah SWT. berarti orang yang ‘arif, dan
setiap yang arif berarti ‘alim (Qusyairi, t.th: 311).
Haji Gusti Abdul Muis menyebutkan bahwa asas agama adalah
ma’rifah (mengenal Allah) dan puncak ma’rifah ialah: Tidak ada yang
menjadikan alam dan segala isinya melainkan Allah yang Maha Suci dari
serupa dengan sesuatu apa juapun, yang bersifat dengan sifat kesempurnaan
(Gusti Abdul Muis, t.th: 37).
Antara ma’rifah dengan syahadah ( penyaksian) terdapat hubungan
yang sangat erat, karena syahadat seseorang tentang Allah ditentukan oleh
ma’rifahnya kepada Allah. “Maka Ma’rifat lah yang menentukan
syahadah”. Oleh karena itu syahadah tanpa ma’rifah seperti kulit dari kulit,
belum lagi menyentuh isi.” (Gusti Abdul Muis, t.th: 40). Dengan demikian

jelaslah bahwa sempurnanya ma’rifah dapat membawa pada syahadah yang
benar. Menurut Haji Gusti Abdul Muis, jalan untuk ma’rifah Allah ada dua
yaitu: dengan jalan akal dan melalui jalan wahyu Allah (Gusti Abdul Muis,
1975: 11). Ma’rifah dengan jalan akal dapat ditempuh dengan cara berpikir,
memperhatikan, menilik, menimbang dan merenungkan tentang alam dan
segala isinya. Dari berpikir dan merenung (tafakkur) pengetahuan tentang
pencipta dan pengatur alam ini akan dikenal dengan baik, yaitu bahwa alam
dan segala isinya ini pasti diciptakan oleh Yang Maha Esa dan Maha
Kuasa yang tak ada bandingannya. Mempergunakan akal dengan sebaikbaiknya
adalah kewajiban bagi setiap manusia, agar keberadaannya sebagai
makhluk terbaik tetap terjaga. Namun apabila manusia tidak menggunakan
akalnya dengan benar, maka manusia itu akan jatuh martabatnya ketempat
yang sangat rendah, bahkan lebih rendah dari hewan. Meskipun Demikian,
menurut Haji Gusti Abdul Muis, dalam menggunakan akalnya manusia
harus ingat pada batas kemampuan akal itu sendiri, jangan sampai akal
digunakan dalam ruang yang tidak terjangkau oleh kemampuan akal, yaitu
memikirkan tentang zat Allah.
k Tauhid
Tauhid menurut bahasa berarti mengetahui dengan sebenarnya
bahwa sesuatu itu satu. Tauhid adalah satu keyakinan dan kesaksian bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah (Ismail Raji al Faruqi,1988: 9). Namun tauhid
bukan hanya keyakinan dan kesaksian tetapi nilai-nilai tauhid itu hendaklah
diwujudkan dalam bentuk pemikiran dan sikap hidup.
Mengenal Allah (ma’rifatullah) adalah pokok tauhid. Untuk
mengenal Allah itu kepada manusia diberikan akal dan juga wahyu. Haji
Gusti Abdul Muis berpendapat bahwa akal berfungsi untuk berpikir dan
merenung, akal dan wahyu harus betul-betul berfungsi dalam kehidupan
manusia. Daerah berpikir yang diizinkan adalah wilayah yang mampu akal
mencapainya yaitu merenungkan segala sesuatu yang diciptakan Allah, baik
yang ada di langit, di bumi, dalam diri manusia, maupun mengenai sosial
kemasyarakatan. Islam tidak pernah memberi kelonggaran memikirkan zat
Allah, karena zat Allah berada di luar kemampuan akal untuk mencapainya
(Gusti Abdul Muis, 1988: 32-37).
l. Syariat, Tharikat dan Hakikat.
Menurut Haji Gusti Abdul Muis, Syari’at adalah kumpulan
suruhan-suruhan Allah yang diturunkanNya akan dia dan larangan-larangan

Allah yang dilarangNya akan dia (Gusti Abdul Muis, t.th: 8). Seterusnya
Haji Gusti Abdul Muis mengatakan bahwa banyak orang mengira ada tiga
jalan yang harus dilalui yang masing-masing namanya: Jalan syari’at, jalan
tarikat dan jalan hakikat. Namun sebenarnya jalan yang yang harus dilalui
itu hanya satu yaitu jalan syari’at Allah yang ditunjukkan oleh Rasulullah
saw (Gusti Abdul Muis, t.th: 6).
Syari’ah, Tariqah dan hakikah, adalah satu rangkaian yang tak
terpisahkan. Hakikat harus disertai oleh syari’at, karena hakikat tanpa
syari’at adalah batal. Orang yang berkata bahwa “aku tidak perlu
sembahyang, karena keberuntunganku sudah tertulis pada azal. Kalau aku
sudah ditulis beruntung diakhirat nanti, maka aku akan masuk surga,
walaupun aku tidak sembahyang.” Dikatakan oleh Haji Gusti Abdul Muis
bahwa ini adalah hakikat yang batal, karena melawan syari’at Allah (Gusti
Abdul Muis, t.th: 7).
Begitu pula bahwa Syari’at tanpa hakikat adalah kosong
melompong tanpa isi. Orang yang berkata bahwa” Aku tidak akan masuk
syurga kalau bukan karena ibadahku” Dikatakannya bahwa ini adalah
Syari’at yang kosong melompong. Karena pada hakekatnya seseorang
dapat masuk kedalam Syurga adalah karena karunia dan kemurahan Allah.
Bukan semata-mata karena amalnya. Setiap hamba wajib mengamalkan
semua suruhan Allah dan menjauhi segala yang dilarang Allah. Tetapi
janganlah seseorang merasa bahwa amalnya sendiri itulah yang
membawanya masuk sorga. Karena pahala yang berlipat ganda itu adalah
karunia dan kemurahan dari Allah.Bukan semata-mata karena amalnya
(Gusti Abdul Muis, 1988).
2. Corak Tasawuf Haji Gusti Abdul Muis
Pemikiran tasawuf Haji Gusti Abdul Muis becorak Sunni, yaitu
tasawuf yang memberikan garis pembeda antara manusia dengan Tuhan,
dan ajarannya masih berada dalam garis-garis ajaran Islam, yaitu
berdasarkan kepada Al Qur ‘an dan Sunnah. Disamping itu tasawuf ini juga
bercorak Akhlaki/ Amali, yaitu tasawuf yang berisi ajaran tentang perbaikan
akhlak dan peningkatan amal ibadah. Penyebutan Akhlaki/ Amali disini
bukan berarti membedakannya dengan Tasawuf Sunni. Karena Tasawuf
Akhlaki/ Amali itu sendiri pada dasarnya berada dalam lingkup Tasawuf
Sunni serta berasal dari sumber yang sama dengan Tasawuf Sunni. Jadi
penyebutan ini hanyalah bermaksud untuk memperjelas isi ajarannya.

D. K e s i m p u l a n
Dari uraian terdahulu, kiranya penulis dapat menyimpulkan sebagai
berikut:
1. Tasawuf menurut Haji Gusti Abdul Muis hanyalah merupakan suatu cara
yang memudahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan
meningkatkan amal ibadah secara kuantitas dan kualitas,memperbaiki
akhlak, memurnikan peribadatan dan harapan kepada Allah SWT dengan
berpedoman kepada sumber ajaran Islam yaitu al Qur’an dan Sunnah.
2. Pemikiran tasawuf yang dikembangkan oleh Haji Gusti Abdul Muis ini
cendrung bercorak Sunni, Amali/ akhlaki.
Daftar Pustaka.
Abdullah, M. Amin, Studi Islam Normativitas atau Historisitas?
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
__________________, Neo Sufisme dan Pudarnya Fundamentalisme di
Pedesaan, Yogyakarta, UII Pres, 2000.
Abdul Qadir Djailani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, Jakarta, Gema
Insani Press, 1996.
Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawwuf, Solo Ramadhani,
1996
_____________, Pengantar Ilmu Hakikat & Ma’rifat, Solo, CV Ramadhani
Cetakan kedua, 1992
.
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta, PT Raja
Grafindo persada, 1995.
Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota, Jakarta, Serambi, 2001
Ahmad Warson, Al Munawwir,Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta, Ponpes
Krapyak, 1984.

Amin Syukur, Tasawuf Kritis, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan lAIN
Walisongo, Semarang, 2001.
____________, Menggugat Tasawuf, Sufisme dan tanggung jawab sosial
abad ke- duapuluh satu Pustaka PeJajar, Yogyakarta, 1999.
____________Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Asmaran, AS, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
1996.
Asywadie Syukur, Ilmu Tasawwf I –II, Surabaya, PT. Bina Ilmu, Tt.
Burckhardt, Titus, An Intrudoktion to Sufism Doktrine, Englang Aquarium
Press, 1999; diterjemahkan Azyumardi Azra, MengenaJ Ajaran
Kaum Sufi Jakarta, Pustaka Jaya, 1984.
Dumaiji,Abdullah bin Umar al, Al Tawakkul ‘Alallah wa ‘Alaqatuhu bil
Asbab, Penerjemah: Kamaluddin Sa’diyatulharamaini, Rahasia
Tawakkal,Pustaka Azzam, 2000.
Faruqi, Ismail Raji al, Tauhid, its implication for Thoght and Life, alih
bahasa: Rahman Astuti (Bandung, penerbit Pustaka, 1988.
Gazali, Abu Hamid Muhammad, aI, Ihya Ulum al Diin, Dar Ihya al Kutub al
Arabiyah, Tt.
Haramain, al Imam al Juwaini al, Kitab al Irsyad ila Qawathi al Adillah fi
Ushul al I’tiqad, Mesir, Maktabah al Khanji, Tt.
Harawy. Abdullah al Anshary , al, Manazil al Sairin, Beirut, Lobanon, Dar
al Kutub al Ilmiyah, 1988
Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mu’min,Surabaya,
PT Bina Ilmu, 1980.

Hujwiri, The Kasyf Al Mahjub: The Oldest persian Treatise on Sufism,
penerjemah: Suwardjo Muthary dan Abdul hadi W.M.Kasyf al
Mahjub Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf, Bandung,
Penerbit Mizan 1993.
Ibnu Qayyim al Jauziyyah, Madaril al Salikin, penerjemah Kathur Suhardi,
jakarta, Pustaka Al kautsar, 2000.
Ibnu Qudamah, Minhajul Qasidin, Penerjemah Kathur Suhardi, Jakarta,
Pustaka al Kautsar, 1997.
.
Jalal Syaraf, al Tashawwuf al Islamy wa Madarisuhu, Iskandariyah, Dar al
Matbu’ ah al Jami’ah Tt.
Jauziyyah., Ibnu Qayyim aI, Madarij al Salikin, Penerjemah, Kathur
Suhardi Jakarta, Pustaka al Kautsar, 2000.
________________________, Al Fawaid, Penerjemah, Munirul Abidin,
Menuju Pribadi takwa, Jakarta, Pustaka Al kaitsar, 2000.
Jurkani Yahya, Teologi al Gazali, Pendekatan Metodologi, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 1996.
Kalabadzi, Abu bakar Muhammada Al, Al Ta’arruf li madzhabi ahli al
Tashawwuf, Maktabah al Kulliyyah al Azhariyyah, Mesir, 1969
Mahmud, Abdul Halim, Qalhiyyah al Munqidz min al dlalal li Hujjah al
Islam al Gazali, Mesir, Dar al Kitab al Haditsah, Tt.
Louis Ma’luf ,Al Munjid fi al lughah wa al a’lam, Lebanon, Dar al Masyriq,
1987.
Majid, Nurkhalis, Islam: Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Paramadina,
1992,
.
Muhajir Nueng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rake
sarasin, 1990

Muis, Gusti Abdul, Mengenal Jalan ke Tasawuf, Pengurus Masjid
Arrahman, Tt
____________, Iman dan Bahagia, CV Rafi, Banjarmasin, 1979.
____________, Insan, Akademi Dakwah Kulliyatul Muballigin.
Banjarmasin,Tt.
____________, Iman dan Ma’rifah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
Perwakilan Kalimantan Selatan, 1975.
____________, Akidah dan Perkembangan Ilmu Kalam, Banjarmasin,
Lambung Mangkurat Press, 1988.
Naisabury ,Abi al Qasim Abd al. Karim ibn Hawazin al Qusyairy aI, Al
Risalah al Qusyairiyah, Dar al Khair, Tt.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam Jakarta, Bulan
Bintang, 1983
Rajasa Mu’tasim & Abdul Munir Mulkan, Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat
Dalam masyarakat Industri, Yogyakarta, Pustaka pelajar, 1998
Shaykh, Fadhlalla Haeri, The Elements of Sufism, Britain, 1990.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1997.
Syahriansyah, Corak Pemikiran Tauhid K.H Gusti Abdul Muis, Puslit lAIN
Antasari, 2000
___________, Corak Tasawuf dalam Buku Dasar-dasar Jalan Lurus
Banjarmasin, Puslit lAIN Antasari, 1999.
Taftazani, Abu al Wafa al Ghanimi aI, Madkhal ila al Tasbawwuf al Islam,
Terjemahan Ahmad Rifi Usmani, Sufi dari Zaman ke Zaman,
Bandung, Penerbit Pustaka, 1997.
Trimingham, J.Spencer, The Sufi Order In Islam Londen, Oxford,
University Press, 1973. Alih Bahasa: Luqman Hakim, Mazhab sufi.
Bandung, Balai Pustaka, 1999.
Yunasril Ali, Pengantar Ilmu Tashawuf, Jakarta Pedoman Ilmu Jaya, 1987.

Tinggalkan komentar