Hijab dalam Pandangan Irfan (Tasawuf)

Mukaddimah

Hijab adalah salah satu masalah yang tidak asing dalam kehidupan manusia dan merupakan masalah pokok yang harus diperhatikan manusia selain kebutuhan primer seperti sandang, pangan dan papan. Ketika manusia pertama yaitu Nabi Adam as dan Hawa as diciptakan oleh Allah swt[1] badan atau raga keduanya dalam keadaan berhijab atau mengenakan penutup aurat. Ungkapan kesempurnaan penciptaan Nabi Adam as dan Hawa as adalah berbarengan dengan kondisi mereka yang berpakaian/berhijab atau dengan kata lain hijab/pakaian merupakan nikmat Allah untuk manusia. Dan sebaliknya, ketelanjangan (di depan non muhrim) adalah tipu daya setan dan akan dibalas dengan azab Allah di hari kemudian.

Menyimak kisah hijab di sepanjang sejarah manusia akan mengantarkan kita kepada salah satu poin penting yang layak untuk direnungkan lebih dalam sehingga kita dapat melihat hikmah di balik hukum hijab yang telah Allah tetapkan dan kita mampu menjadi hamba sejati Tuhan yang Maha Esa, pencipta dan pemilik mutlak manusia serta sekalian alam dan tempat kembali yang abadi bagi manusia bahkan semua makhluk.[2]

Setiap muslim hendaknya hendaklah senantiasa mawas diri dan berharap cemas tentang bagaimana akhir kehidupannya kelak. Hendaknya ia selalu menghisab segala sesuatu yang telah dilakukannya berkaitan dengan apa-apa yang telah diperintahkan dan dilarang oleh Allah swt. Hal ini akan berguna dalam upaya memperbaiki prilakunya sehingga prilakunya sesuai dengan apa yang diridhai oleh Allah swt. Dengan demikian, manusia dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan harapannya bahwa ia akan masuk dalam golongan muflihuun(orang-orang yang beruntung).[3]Jika tidak demikian, maka manusia akan merugi.[4]

Dalam dunia Islam, irfan adalah sebuah cabang ilmu yang memiliki sejarah cukup panjang. Kandungan irfan pada hakikatnya adalah perjalanan tarbiah Islami yang dilakukan oleh Rasulullah saww dalam membimbing umat Islam menuju Allah swt.

Berbicara tentang hijab dalam pandangan irfan pada dasarnya membicarakan hijab dalam pandangan Islam karena hijab merupakan salah satu bentuk tarbiah Islam. Tarbiah Islam tanpa dibarengi irfan akan kehilangan esensinya sedangkan irfan tanpa dibarengi istidlal logis dan amal islami akan kehilangan kendali, akan jatuh terperosok dan jauh dari esensi Islam.

Dalam sejarah, istilah irfan dan tasawwuf mulai muncul pada akhir abad kedua Hijriah. Pada abad ketiga, irfan dan tasawwuf mulai menampakkan wajah barunya.[5]Di sini kita tidak akan membahas kemunculan irfan sebagai cabang ilmu tersendiri secara kronologis dan bagaimana irfan terbagi menjadi irfan teoritis dan irfan praktis tetapi kita akan membahas sisi irfani hijab sebagai salah satu aturan syariat Islam. Namun sebelum memasuki pembahasan, kita terlebih dahulu akan membahas beberapa topik di bawah ini:

1.Apakah hijab?

2.Bagaimanakah pensyariatan hijab dalam Islam?

3.Bagaimanakah hijab yang diperintahkan oleh Allah swt sebagai sebuah taklif syar’i yang wajib ditaati pemeluk agama Islam?

 

Hijab

Pemahaman keirfanan dalam berbagai perihal ajaran agama yang kurang membudaya, atau paling tidak, kurang mendalam dan merata di kalangan sebagian besar umat Islam membuat umat kehilangan ruh ajaran agamanya. Sebagai contoh: shalat. Banyak kaum muslim yang melakukan shalat tanpa memperhatikan muatan maknawi shalat[6]sehingga shalat mereka mirip dengan unggas yang sedang mematuk biji-bijian yang berserakan di atas sajadah, hampa bahkan melelahkan. Hingga tidak jarang anak-anak berusaha meninggalkan shalat bahkan lebih jauh lagi berlari tunggang langgang menjauhi Islam dan memasuki agama selundupan yang akan menggiringnya ke dalam jurang kesesatan. Atau bisa saja ia lari dari semua agama sehingga ia bisa hidup bebas layaknya binatang dan bisa memenuhi segala hawa nafsunya, menerkam mangsanya di mana saja dan kapan saja demi memenuhi berbagai kebutuhan hewaninya yang bersifat temporal.[7]

Shalat adalah salah satu perkara Islam yang karena tidak ditunaikan sesuai dengan keinginan Allah swt, umat Islam tidak dapat meraih berbagai nikmat besar yang ada di dalam shalat dan pada akhirnya hasil akhir dari shalat tidak bisa diraih. Lebih tragis lagi, sebagian kalangan sengaja meninggalkan shalat dan mereka tidak sadar bahwa dengan meninggalkan shalat mereka telah menyiapkan dirinya sebagai bahan bakar api neraka yang apinya tidak hanya menyala di hari kiamat saja tetapi telah menyala dalam kehidupan dunia sedang mereka akan tersulut dalam api tersebut dan terbakarlah segala nilai kemanusiaannya.[8]

Sungguh sayang, shalat yang ditetapkan oleh Islam sebagai salah satu anak tangga peribadatan kepada Sang Maha Sempurna, yang semestinya membuat kita rindu untuk menunaikannya dan kita dirikan dengan penuh rasa suka, tidak meninggalkan kelezatan sukma sedikitpun sehingga kita bisa mengarungi cakrawala makrifat ilahi yang pada akhirnya akan menciptakan semangat dan tekad untuk menjadi anggota umat terbaik, penegak amar ma’ruf, pencegah kemungkaran dan penyebar rahmat dan penabur benih kedamaian dan keadilan di seluruh dunia.[9]Jika shalat telah dilakukan sesuai dengan keinginan Allah swt, jangankan meninggalkannya, terlambat menunaikannya saja mampu membuat hati menjadi gemetar dan risau. Tubuh dan ruh akan terhuyung-huyung untuk segera merintih atas kelalaian dirinya, hati dan mulutnya akan meraung memanggil-manggil Tuhannya.[10]“Wahai Tuhanku! Wahai Tuhannya Ashabul Kahfi! Wahai Tuhannya Ashabul-Kisa’ Fathimatuzzahra wa abiha wa ba’liha wa siril mustaudaufiha alahimissalam. Hamba-Mu yang hina, rendah, miskin, bodoh dan pembangkang ini, selalu lalai dan tertipu oleh fenomena rapuh selain-Mu. Tetapi kerinduanku akan diri-Mu yang memiliki segala kesempurnaan menjadikan diri ini selalu terkesima dan gembira menjalani dan menekuni titah dan perintah-Mu. Tetapi saat itu juga kemampuan dan kesadaranku lumpuh. Aku hanya tertegun dan batinku hanya mampu menyebutkan beberapa nama dari nama-nama agung-Mu. Ya qudduus, ya dzal-jalaali wal-ikraam, ya muqalibal-quluub wal abshaar, tsabbit qalbį alaa diįnik wa tho’atik. Allahu Akbar…”

Demikianlah contoh kondisi jiwa seorang muslim yang terpaut pada makna spiritual sholat. Jiwa yang dipenuhi makrifat tentang titah dan perintah Tuhannya akan memiliki ruh semacam itu. Kondisi yang sama juga akan dirasakan berkaitan dengan perintah agama lainnya, misalnya saja hijab. Kondisi jiwa yang memiliki kepekaan spritual atau makrifat hakiki tentang Tuhan, tugas dan akibat dari segala prilaku disebut dengan kondisi irfani jiwa manusia.

Perlu diperhatikan bahwa setiap elemen ajaran Islam yang ada dalam tiga cabang besar akidah, akhlak dan fiqih harus memuat nilai-nilai irfan agar dapat dicapai nilai tertinggi dalam tataran prakteknya. Artinya, setiap muslim harus mengenal dan paham tentang kedalaman muatan maknawi serta bekas-bekas yang terbias di dalam setiap ajaran Islam yang di dalam irfan disebut dengan mukasyafah, musyahadah dan pengindraan batin. Seorang muslim semestinya mampu mencapai kedudukan sebagai seorang arif yang melaksanakan ibadahnya atas dasar cinta dan pesona Sang Jalal wa Jamal, ilahi rabbil ‘alamiin. Kalau seorang muslim tidak mampu mencapai kedudukan tersebut maka prilakunya akan sesuai dengan kondisi jiwa yang dimilikinya ketika melaksanakan ajaran Islam. Oleh karena itu, kita dapat melihat posisi kita di sisi Allah swt melalui kondisi jiwa kita sendiri.

Setiap ajaran Islam seperti perintah mendirikan sholat dan puasa, membayar zakat dan khumus, menunaikan ibadah haji, berhijab, jihad fi sabillillah, mempertahankan agama, harta dan kehormatan, amar ma’ruf dan nahyi mungkar, tawalli dan tabarri, menuntut ilmu agama tak ubahnya seperti anak-anak tangga yang jika dinaiki satu persatu dengan tepat akan menghantarkan seseorang pada peringkat spritual berikutnya yang lebih tinggi hingga mencapai puncak ketinggian maknawi yaitu berada di sisi Allah swt yang memiliki segala kesempurnaan.

Sebagian manusia, seperti para Makshumin as, mendapatkan ketinggian maknawi ini sebagai amugrah langsung dari Allah swt. Anugrah ini memang layak dimiliki oleh beliau-beliau, mengingat tugas berat dan suci yang berada di pundak mereka. Sedangkan manusia lainnya harus mengikuti jejak mereka sehingga dapat dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mentaati perintah Allah swt. Manusia juga harus mengenal hakikat dirinya karena dengan mengenal dirinya ia akan mengenal Tuhannya. Dari sinilah ia dapat memulai kehidupan irfaninya sampai ia dapat masuk dalam kelompok urafa dan arif rabbani.[11]

Irfan

Kata irfan berasal dari bahasa Arab عِرفان(pengetahuan yang banyak) yang merupakan sifat musyabbahahberwazan fi’laan(فِعلان) [12]dan memiliki arti yang sama dengan kata ilmu (العلم).[13]Lafaz عرفmemiliki 27 buah mustaqat (turunan kata) dan telah disebutkan sebanyak 71 kali di dalam al-Qur’an.[14]Sedangkan arif (jamaknya adalah urafaa) adalah isim faa’il dari kata kerja arafa.

Kata irfan sebanding dengan kata mystic dan metodenya disebut dengan mystisism/mistisisme. Kata mystic berasal dari bahasa Yunani yaitu mistikos yang berarti perkara yang tersembunyi sedang dalam istilah berarti hubungan langsung pribadi dengan Tuhan alam semesta melalui jalan syuhudi/penginderaan dan pengalaman spiritual batin atau melalui jalan lain yang dapat memberikan hasil. Dengan kata lain, irfan adalah suatu jalan berupa kepercayaan akan adanya kemungkinan untuk mencapai hakikat sesuatu melalaui ilmu hudhuri (bersatunya sang aqil dengan ma’qul). Secara praktis, irfan dapat diibaratkan sebagai peribadatan, mujahidah atau kemauan keras untuk menjalani kezuhudan, latihan menyucikan diri dari segala kotoran atau dosa yang ada dan mengarahkan diri kepada alam batin.[15]

Mungkin sulit bagi kita untuk mengetahui kapan istilah irfan mulai digunakan di kalangan ulama Islam,[16]tetapi dengan memperhatikan pendapat Junaid Baghdadi (wafat thn. 298 Hijriah) yang menyatakan bahwa kata irfan pernah digunakan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kata irfan mulai digunakan pada abad ketiga hijriah.

Pada mulanya, mafhum irfan, ibadah dan zuhud belum mengalami perbedaan makna. Namun secara perlahan-lahan, terjadi perbedaan makna antara ketiga kata ini. Setiap kata arif, abid dan zahid memiliki makna khusus dan tersendiri. Berkaitan dengan perbedaan antara ketiga kata ini, dalam kitabnya Isyarat, Syaikh Ra’is Abu Ali Sina berkata: “Zahid adalah istilah khusus bagi orang yang menghindari dunia dan kelezatan-kelezatannya. Orang yang menjaga dan selalu mawas diri dalam menekuni amal shaleh seperti sholat, puasa dan lainnya disebut abid. Sedangkan orang yang berusaha keras dan mengerahkan segala kemampuan dan pikirannya untuk menyucikan diri dan selalu berlindung pada kebenaran disebut arif. Namun ketiga istilah ini terkadang dapat saling menyatu.” Dengan demikian, makna irfan telah berubah seiring dengan perjalanan waktu. Terkadang irfan memiliki makna tersendiri dan terkadang semakna dengan tasawuf.

Harus diperhatikan bahwa tasawuf merupakan salah satu mishdaq dan cabang dari irfan, bukan keseluruhan irfan. Irfan dengan makna umumnya mempunyai kesesuaian makna dengan seluruh makna agama dan mazhab yang ada di dunia, baik kecil maupun besar, yang memiliki bentuk beraneka ragam. Bahkan para penyembah Totem pun memiliki rahasia dalam kepercayaannya yang untuk meraihnya mereka harus menempuh jalan rohani. Mereka yakin bahwa alam memiliki hubungan dengan Totem sehingga mereka berusaha untuk menyesuaikan diri dengannya. Dalam tafakkur mereka, dapat dilihat asas-asas irfan di dalamnya. Demikian juga dalam agama-agama kuno India dan Iran, dalam agama Kristen dan Islam, dapat disaksikan hakikat irfan di dalamnya. Bahkan dalam agama Yahudi sekalipun—yang memiliki akidah paling berbeda tentang Tuhan dan memiliki dendam kesumat terhadap manusia—tidak kosong dari hakikat irfani. Hal ini dapat dilihat dalam kitab suci mereka Mazamir Daud, Ghazal Sulaiman serta ungkapan–ungkapan indah mereka yang berasal dari syuhud batin dan jiwa manusia dalam mencari dan mencintai Tuhan.[17]

Jika kita katakan bahwa irfan bukanlah sinonim dari kata tasawuf maka ini berarti bahwa irfan mempunyai arti lebih tinggi dan luas dari kata tasawuf. Tasawuf adalah satu cara dan jalan yang mengambil ilham dari irfan dan bermuara ke irfan. Dengan mafhum globalnya, irfan mencakup tasawuf dan berbagai tatacara serta jalan yang lain. Dalam kitab-kitab dan ungkapan-ungkapan para pembesar sufi Islam juga terlihat bahwa arif memiliki makna yang lebih tinggi dan terpisah dari pengertian sufi. Dalam kitab Israr Tauhid, Haji Imam Mudzafar Nu’ani berkata kepada Syekh Abu Sa’id: “Aku tidak berbicara tentang kesufianmu dan aku juga tidak berbicara tentang kegembelanmu, tetapi aku berbicara tentang kearifanmu dalam rangka meraih kesempurnaan”. Syekh menjawab: “Dia berkata benar”. Singkatnya, yang dimaksud dengan irfan adalah cara dan jalan yang dengannya hakikat dapat diperoleh melalui penyingkapan (kasyaf) dan penyaksian batin (syuhud) dan dibarengi dengan pelatihan dan penyucian jiwa. Sedangkan yang menjadi tujuan arif dalam menjalani seir dan suluk hanyalah Allah semata. Sang arif menyembah Tuhan atas dasar cinta, bukan karena berharap pahala dan ganjaran surga-Nya dan bukan pula karena takut akan azab dan neraka-Nya.[18]

Tinggalkan komentar